TUNGGU AKU DARI UNIVERSITAS ANDALAS

Jumat, 15 Februari 2008

Dunia Mahasiswa: Antara Kenistaan atau Keniscayaan

Hari-hari mahasiswa diisi dengan kuliah. Sibuk praktikum dan menyelasaikan laporan yang ditugaskan. Memfotokopy bahan kemudian mempelajarinya. Bila bahan itu ada di internet, maka dari pukul 19.00 - 01.00, warnet akan diisi oleh mahasiswa yang mencari bahan.

Dunia mahasiswa, apakah harus sejemu itu? Seperti anak sekolah yang segalanya harus sistematik. Tak jarang mengeluh oleh tugas-tugas yang menumpuk sehingga mengabaikan fungsi-fungsi mahasiswa yang lain.

Peran dan fungsi mahasiswa harus kembali dipertegas. Mahasiswa harus mampu mengawasi dan mengontrol reformasi secara utuh seperti saat mereka membidani kelahirannya bulan Mei 1998. Pergerakan mahasiswa pada saat ini tampaknya memiliki perbedaan signifikan dengan mahasiswa tahun 1998, yang mempunyai keseragaman visi, yaitu reformasi.

Mahasiswa sudah telanjur dikenal masyarakat sebagai agent of change, agent of modernization, atau agen-agen yang lain. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan gelar yang disandangnya. Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya.

Merupakan kenistaan bila hari-hari mahasiswa hanya satu warna, yaitu akademik. Seakan acuh tak acuh dengan kondisi terkini saat ini, menjadi barisan pengekor atau pertama kali kabur saat masalah terpampang di depan mata. Semangat perubahan tak lagi mewarnai sisi-sisi kehidupannya. Bahkan waktu luang yang dimiliki hanya dihabiskan dengan dengan kegiatan yang tak tentu manfaatnya.

Sekali lagi kita dipecundangi oleh sistem yang berbelit-belit. Masalah akademik yang semakin sulit, peraturan yang rumit, dan menggugurkan idealis sebagai mahasiswa. Tapi, hal seperti ini pun bukan membuat mahasiswa menjadi tersadar. Bangkit dari pengangkangan hak-haknya dan kembali menanya apa fungsinya sebagai mahasiswa. Suara yang dimiliki tak memiliki kesatupaduan, tidak seperti di era 1998. Yang ada hanya mahasiswa 4K, Kampus, Kafe, Kos, Kampung.

Mahasiswa, yang kini anti organisasi, anti pergerakan, bahkan anti perubahan. Sehingga wajarlah, kalau mahasiswa saat ini mati suri dan tak tahu di mana akan dikuburkan. Apakah peristiwa-peristiwa 66 dan 98 menjadi satu kenangan terindah yang akan lapuk oleh perubahan zaman.

Menunggu kembali bangkitnya pergerakan mahasiswa. Bangkit Negeriku, karena perubahan itu masih ada. Dan bangkitnya negeri, harus kembali dimotori oleh yang namanya mahasiswa.

lanjutkan..

Rabu, 13 Februari 2008

Jangan Panggil Aku Ikhwan

Kultum baru aja usai di musholla Al Kahfi. Alhamdulillah, kultum pertamaku sukses. Awalnya agak nervous sih, karena referensinya sedikit. Tapi selama yang disampaikan itu untuk kebenaran, kenapa harus takut?, batinku.
Qomat dikumandangkan , jama’ah berdiri dan sholat Zhuhur pun dimulai. Akh Anto yang menjadi imam. Saat ia mengangkat takbir, suasana hening seketika. Yang di dalam apalagi yang di luar mushola mnghentikan aktifitas bibirnya. Setidaknya 10 menit kedepan suasana khusuk akan merasuki diri setiap insan yang dilanda rindu pada Rabbnya. Seraya menunjukkan kelemahan sebagai seorang hamba dan bersukur atas nikmat hidup yang diberikanNya. Tidak ada senioritas atau junioritas dalam sholat, siapa yang datang duluan maka dia berhak berada di shaff depan. Itulah jama’ah yang menghadap qiblat yang sama, dengan gerakan yang sama, dan visi yang sama, walau pakaiannya beda. Maklum, ini mahasiswa bung, bukan anak sekolah atau pegawai dengan pakaian seragam.
Selesai salam, jama’ah bubar satu persatu. Ada yang keluar mushola, tapi tidak sedikit yang menuju ruang baca. Ada yang membaca, ada pula yang sekedar duduk untuk bercerita, dan tidur melepas lelah. Suasana ini sudah sering terjadi tanpa ada komando karena dengan suka rela melakukannya. Bersama dalam satu ukhuwah, menyapa dengan salam pada jama’ah yang tertinggal waktu jama’ah pertama. Mereka bercerita tentang kuliah, organisasi, dan masalah pribadi. Suasana itu diisi dengan canda tawa sampai mereka bubar karena harus kuliah lagi.
Hari itu Padang diguncang gempa. Jadi obrolan mereka seputar kejadian tadi. Kata mereka ada mahasiswa yang melompat dari lantai 2 gedung kuliah hingga kakinya patah. Ada yang terjatuh waktu lari, dan tak sedikit yang diam di tempat duduknya. Mungkin mereka pasrah atau telah memprediksi gedung kuliah tidak akan runtuh. Apapun ceritanya, tetap aja mereka manusia yang lemah. Karena yang kulihat dari kebanyakan mahasiswi, mereka menangis bahkan sampe pinsan segala.
Sayang sekali aku gak bisa ikut terus obrolan mereka, saat hp ku berbunyi dan…..
“ Assalamualaikum “, kataku pada orang yang diseberang sana, ia pun menjawab salamku.
“ Rom, cepat pulang. Shally koma dan dia terus memanggilmu”, kata orang tersebut yang sudah ku kenal suaranya. Dia Alf, orang yang paling pendiam di Jiband, grup band asal jadi kami, Alf, Shally, Yoni, dan aku. Band ini terbentuk tahun 2003, sejak kami SMA.
Telepon langsung dimatikannya tanpa memaksaku untuk bertanya. Kebisuan mengantarku pada kenangan yang satu, satu masa indah bersama Jiband. Kisah kasih dengan Shally, kesalutanku dengan semua ide gila Yoni, dan Alf yang selalu digandrungi cewek-cewek. Sebuah persahabatan tulus yang dirintis sejak SMP, berbuah kisah kasih hingga mengantarkan kami menjadi orang yang selalu diawasi oleh guru dan satpam. Tidak jarang kami disetrap karena gak buat PR, ribut di kelas, memprovokasi demo saat kenaikan uang SPP, bahkan lompat pagar saat jam sekolah. Kami lakukan bersama-sama, dengan tujuan yang sama, dan menanggung resiko bersama. Hingga SMA, kami masih bersama, dengan aksi yang sama pula.
Astaghfirullah, batinku. Kenangan itu membuatku larut dalam emosi. Hatiku berkecamuk mengambil keputusan. Dakwah jalanku, sementara di balik bukit barisan sana, ada sesosok tubuh yang terkulai lemas tak berdaya. Memanggil namaku, menginginkan aku datang, orang yang pernah berlabuh dalam taman hatinya. Akankah aku kembali sebagai obat pelepas rindunya sementara tempatku kini bersama kader dakwah. Lalu bagaimana dengan silaturahmiku dengan kawan-kawan di Kisaran andainya terjadi sesuatu yang buruk pada Shally, dan mereka mempersalahkan ketidakhadiranku pada saat sakratul mautnya? Aku terbenam kembali dalam lamunan. Mengambil sebuah keputusan yang sulit kuputuskan. Jarak Padang-Kisaran memakan waktu sehari semalam dengan bus, sedangkan pesawat ke
Medan hanya ada waktu Shubuh. Itu berarti aku harus menunggu lagi. Tapi aku harus pulang.
Akhirnya ku ayunkan langkahku dengan kebulatan tekad menuju kotaku. Entah bagaimana caranya, yang pastinya aku harus di sana sebelum aku menyesal atau dipersalahkan. Dan para ikhwan yang lain pun, melepas keperginku dengan wajah keheranan.
***
Kisaran 2005
“ Kota ini terlalu indah untuk berpisah denganku. Semua kenangan terbungkus, membuaiku untuk selalu kembali padanya”, kataku pada personil Jiband tanpa Shally. Katanya, dia tak sanggup melepas kepergianku dan sudah seharian mengurung diri di kamarnya. Hp nya pun sengaja tidak diaktifkan.
“ Masih ada waktu untuk berubah pikiran. Tempatmu di sini. Shally pun berat hati melepasmu”, kata Yoni mencoba meyakinkanku.
“ Tempatku di sini. Tapi 4 tahun kedepan ada yang ku cari di sana. Juga agar Shally bisa membanggakanku “, balasku.
“4 tahun waktu yang lama, dan hanya menyandang gelar Sarjana Pertanian pula. Sedangkan 6 bulan lagi kita masuk dapur rekaman dan kita akan terkenal seketika”.
Ku tatap wajah Yoni yang mengatakan kenaifan itu. Aku hanya geleng kepala menyatakan ketidaksetujuan.
Benar, popularitas akan segera kami raih, paling tidak untuk lingkup kota ini. Aku dan teman-teman akan terkenal, dielu-elukan penggemar, wawancara di radio, dan menjadi band pembuka bila ada band ternama
Indonesia yang manggung di kotaku. Lalu, apa yang ku dapat sehabis itu? Tidak sedikit grup band yang gagal dipermulaan, ada pula yang kehabisan ide hingga mati suri atau mati sama sekali. Band tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, merebut popularitas, masuk infotaimen, diterpa gossip, dan sisi kehidupannya harus dibeberkan di depan umum. Di depan kamera seolah mereka bahagia dengan popularitasnya, padahal tidak sedikit dari mereka yang merasa terjajah, kemerdekaan mereka sebagai induvidu terkekang oleh sorotan kamera yang terus mengikuti. Akhirnya, mereka pun menarik diri dari depan public dan mencari ketengan jiwa. Ketenangan jiwa yang akhirnya ditemukannya di dalam Qalbu itu, harus dibayar dengan penyesalan yang mendalam atas masa lalunya. Dan aku gak mau jatuh seperti mereka yang jatuh.
“ Doakan aja, moga aku bisa menamatkan S1 ku secepatnya. Kembali bersama kalian, dan bersama kota ini. Salam untuk Shally”, kataku.
Setelah itu aku pun berangkat menuju ranah minang, untuk melanjutkan studiku. Diantar grup Jiband, hanya aku yang melanjutkan kuliah, Tanpaku, Jiband, tetap akan ada. 6 bulan kemudian mereka rekaman dan menjadi terkenal seperti yang mereka impikan.
300 meter bus melaju. Ku lihat seorang gadis yang melambaikan tangannya. Shally. Ternyata dia melepaskan kepergianku. Thanks Shally, terima kasih atas cintamu, batinku. Dan bus pun meninggalkan kotaku.
***
Pukul 07.00 aku dah sampe di Kisaran disambut udara pagi yang dingin sekali. 3 tahun ku tinggalkan kota ini tanpa perubahan yang berarti. Entah di mana dana APBD daerah ini, batinku. Tapi segera tak ku hiraukan. Tujuanku pulang untuk menjenguk Shally, bukan untuk memotivasi massa melakukan aksi di depan kantor Bupati atau DPRD.
“Cpt dtg k RS. Gwt….”, begitulah bunyi sms Alf. Setelah aku pamit pada mama, aku pun menuju ke RSUD. Gak terlalu jauh dari rumahku, hanya 10 menit doang. Dan sesampai di sana, ku lihat sesosok tubuh yang telah tekulai kaku tak bergerak. Wajahnya pucat, bibirnya juga. Suasana hening. Alf menangis, Yoni menangis, begitu juga ortu Shally. Aku terlambat, kata mereka aku terlambat hanya 3 menit. 3 menit?, batinku. Setelah perjuanganku gonta-ganti bus selama berjam-jam, akhirnya aku dikalahkan oleh waktu yang 3 menit? Tubuhku terasa lemas sekali. Yang ku ratapi tak mungkin bangun lagi. Walau sekedar mendengar ia berkata, akhirnya kakak datang juga. Tapi tidak mungkin. Sebab lidahnya telah keluh. Ingin sekali mendengar suaranya. 2 tahun sudah aku gak mendengar suaranya, sejak aku aktif di dunia dakwah. Sejak aku memutuskan untuk tidak pacaran lagi. Sejak aku meninggalkannya. Kata Alf dia menangis saat ku putuskan. Yach, menangis memang gak masalah, entar juga reda. Tapi Shally larut dalam kesedihannya. 2 tahun dia larut. Dia memendamnya hingga akhirnya menjadi penyakit dan maut pun menjemput.
“ Innalillahi Wa inna Ilaihi raajiun”, kataku pelan.
Jenazah disemayamkan di rumah orang tuanya, bukan rumah dari hasilnya ngeband. Dan diantar menuju rumah yang gelap sekali, tanpa lampu atau penerang lain kecuali amal. Dan setelah pemakaman tersebut, aku pun kembali ke Padang dengan membawa semua penyesalanku.
***
“ Assalamualaikum”, kata seseorang sambil mengetuk pintu kamar kosku.
“ Wa’alaikum salam “, jawabku. Ternyata Akh Anto. Seniorku yang paling jenius.
“ Kata Ikhwan yang lain, antum sudah 5 bulan tidak keliatan di mushola. Begitu juga amanah di forum, tidak antum gubris”, katanya setelah meminum air yang ku hidangkan.
“ Saya mau keluar dari forum”, kataku mantap.
“ Akh, ana gak salah dengar kan?”, katanya. Aku gelengkan kepala tanda keseriusanku. Dilihatnya aku yang memang sudah berubah dalam penampilan. Tidak dilihatnya lagi di kamar kosku poster para mujahid Palestin, Taliban, Checnya, atau kaligrafi yang selalu menghiasi kamarku. Dia juga tidak mendengar nasyid atau muratthal yang biasanya ia dengar bila bersilaturahmi ke kamarku.
“ Antum mengikuti jejak mereka yang futur. Padahal, dalam pandangan kami antum ikhwan yang sejati”, kata akh Anto meyakinkanku.
“ Jangan panggil aku ikhwan lagi, bang. Aku gak seperti kalian. Secara tidak langsung aku sudah menjadi pembunuh. Sebelumnya aku telah membunuh jiwa gadis itu, dan akhirnya aku membunuh jasadnya.”, kataku lagi yang cukup bersitegang dengan akh Anto. Dia terdiam. Di wajahnya tampak gurat penyesalan. 5 bulan dia menghilang, sibuk dengan penelitiannya. Dia hanya tau kejadianku lewat ikhwan yang lain.
“ Ingat kultum yang antum sampaikan dulu? Di setiap musibah pasti ada hikmah. Dan Allah gak akan memberatkanmu melebihi kapasitas kesanggupanmu. Ingat akh, itu yang antum sampaikan ke jama’ah. Jangan menjadi Abdullah bin Ubay. Jangan jadi munafik. Camkan itu “, katanya. Dan dia pun pergi setelah mengucapkan salam.
Kultum yang ku sampaikan dulu memang tentang bagaimana cara seorang muslim dalam menghadapi musibah. Entah mengapa, seolah-olah aku gak pernah menyampaikannya. Kata-kata yang ku ucapkan kembali padaku. Pukulan telak bagiku. Dengan segenap gejolak perasaan, aku mengambil secarik kertas yang terletak begitu saja di meja belajarku. Surat dari Shally.
Shally sempat menulis surat untukku sebelum ia meninggal. Ku baca lagi. Di situ memang tertulis jelas, bahwa katanya aku egois. Memutuskan tali kasih yang sudah terbangun dan membiarkan dia seperti itu. Membunuh jiwanya sehingga kosong dan tak berarti. Walau ia telah mendapatkan popularitas sebagai vokalis ternama di kotaku, tapi katanya dia tidak menemukan ketenangan jiwa seperti dulu, saat ia di sampingku.
Aku merenung kembali setelah membaca surat itu. Benarkah aku menelantarkannya? Atau apa yang harusnya aku lakukan? Membimbing dia, menasehati dia. Harusnya dia menjadi akhwat seperti aku yang menjadi ikhwan. Tapi aku rasa yang ku lakukan pada saat itu sudah tepat. Aku gak mau menghubungi dia lantaran aku takut terbawa oleh perasaan hingga akhirnya aku futur kembali.
Cinta yang ku miliki untuk Shally takkan bisa membawanya hidup kembali. Seberapa besar cintaku padanya, tetap Allah yang lebih mencintainya dan memberikan jamuan terbaik baginya.
Menyesali kematian Shally bukan seperti ini, menyalahkan dunia dakwah. Ujian itu memerlukan jawaban, dan setiap masalah pasti ada solusi. Jangan panggil aku ikhwan kalau aku gak mampu menahan gejolak perasaan. Jiwaku gak boleh mati hingga terombang-ambing bagai buih di lautan.
Aku matikan rokok yang ada di tanganku, bergegas menyusul akh Anto, Ikhwan dan akhwat lain yang berjuang di jalan dakwah.

lanjutkan..