TUNGGU AKU DARI UNIVERSITAS ANDALAS

Minggu, 30 November 2008

IBU....(sebuah renungan dari anakmu)

Ibu, telah lewat tanggal ketika orang-orang memperingati dirimu. Mengingat perjuangan dalam pemeliharaan kandungan, melahirkan, menyusui, mendidik, dan akhirnya melepaskan menuju kemandirian. Semua itu seringkali membuat seorang anak mampu meneteskan air mata dalam keheningan muhasabah atau evaluasi diri. Sebuah evaluasi tentang apa yang sudah anakmu berikan atau baktikan kepada engkau.

Ibu, kasih sayangmu dipuji sebagai tak terhingga sepanjang masa. Engkau hanya memberi, tak harap kembali. Dan diibaratkan seperti sang surya menyinari dunia. Engkau sering dikatakan sebagai sosok yang agung, tempat keridloan Allah. Ibu, tetapi kini........Ibu, engkau yang agung, kini mulai terkikis. Engkau banyak mengaborsi anakmu. Menjadikan anakmu, dalam teriakan “anak haram”, dan tidak diterima dalam masyarakat. Engkau juga banyak tidak peduli dengan anakmu. Engkau menikah dan bercerai begitu mudahnya. Bahkan engkau tidak menikah dan “memunculkan” anakmu di dunia. Engkau hanya membuat anakmu tersiksa, karena ketidakhadiran sebuah keluarga yang mencurahkan kasih sayang, bukan terpaku pada materi. Ibu, engkau lebih banyak tidak membiarkan anakmu mandiri atau tidak mempersiapkan anakmu untuk mandiri. Engkau manjakan aku dalam keterlenaan. Sehingga aku tak mampu untuk hadapi kehidupan yang keras. anakmu lari kepada euforia yang merusak, menyalahgunakan narkotika, lari kepada dunia gemerlap, yang mencoba untuk melupakan kegelisahan yang mendalam. Melenyapkan rasa gelisah dengan hidup di dalam dunia yang banal. Terjebak dalam aktivitas keseharian. Terjebak dalam rutinitas, tanpa tahu mengapa melakukan itu semua, kecuali hanya karena itu lazim dilakukan. Itu pula yang membuat aku memberontak. Liberalisme menjadi sebuah tawaran jawaban yang menjanjikan. Bebas, itu sebuah kata yang berusaha aku wujudkan. Dan ibu, itu semua terkait dengan peranmu dalam kehidupan anakmu.Ibu, udara feminisme telah begitu merasuk dalam paru-parumu. Ia menjadi sebuah dorongan yang malah merusak anakmu. Karena ia, engkau meninggalkan anakmu di rumah, sendirian, atau hanya ditemani pembantu. Yang akhirnya, pembantulah yang anakmu anggap ibu, bukan engkau sebagai ibu kandung. Ibu, karena feminismelah aku hidup tanpa kasih sayang, dan hanya bersama materi. Materi.....materi, bukan itu yang utama. Dengan kehadiranmu disisi, cukup dan jangan gantikan kehadiranmu oleh materi.

Ibu, sadarkah engkau jika feminisme itu terlihat hanya menjadi sebuah jebakan bagimu agar engkau menjadi komoditas baru bagi para kapitalis. Engkau dijadikan sebagai model sebuah iklan, menjadi pemancing gairah laki-laki. Sungguh aku tidak menyukainya, terlebih karena yang terpancing itu bukan ayahku.

Ibu, mencari nafkah bukanlah kewajiban yang dibebankan Allah kepadamu. Engkau dibebankan kewajiban untuk merawat anakmu, melahirkan, mendidik, dan mempersiapkan untuk menjalani kehidupan yang keras. Kalaupun engkau mencoba bekerja, engkau hanya akan lebih lelah. Karena menangani dua buah wilayah, wilayah pekerjaan dan aku. Pada akhirnya, dua wilayah itu hanya akan terbengkalai dan tidak optimal digarap. Dan yang menderita bukan hanya engkau, tapi anakmu.

Ibu, tolonglah telusuri ke kedalaman batinmu. Apa sebenarnya kecenderungan dasar dirimu atau fitrahmu?, apakah benar ke-biologis-an dirimu tidak berpengaruh kepada peranmu di dunia?, apakah engkau sedemikian menginginkan untuk memperoleh apa yang laki-laki peroleh? Tidak cukupkah engkau, hanya dengan diriku? Aku adalah amanah bagimu, yang akan membawamu, baik ke taman akhirat atau api jahanam.

Ya Allah, ampunilah ibuku dan bimbing ia menuju fitrah dan kemuliaan di dunia dan di akhirat. (serum)

Tidak ada komentar: